membagun kota bersih

Sampah Abad Berantakan (Membangun Budaya Bersih dalam Kesadaran Akhlakul Karimah)
Oleh : Budi Sabarudin

Dalam pengalaman individu, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, demikian rumit dan saling bertentangan, sehingga jarang saja kita mampu melihat secara jernih. (Ernst Cassirer (1874-1945)

Manusia sudah berabad-abad hidup di bumi ini. Namun seiring usia bumi semakin tua, perilaku manusia terhadap bumi jauh dari kearifan. Manusia mutlak membutuhkan bumi untuk keberlangsungan hidup, tetapi manusia juga yang merusak dan menyakiti bumi ini. Itulah cermin manusia modern pada abad berantakan di mana nilai-nilai tidak dihormati, tidak dijadikan pandangan hidup, ditabrak, dilupakan, dan bahkan dibebaskan.

Adalah sampah yang menjadi kasus paling nyata. Ada kesan sampah sebagai sebuah teks yang gelap, yang tidak diberi ruang cahaya dalam akal sehat manusia. Sampah dicampakkan dan dimarjinalkan seperti dibuang ke parit, sungai, laut, jalan serta sudut-sudut lantai dan halaman kantor, ke taman-taman perumahan, lahan-lahan kosong atau lahan tidur milik orang lain, dan saluran air. Ironisnya juga masih ada sampah yang dibuang di sekitar rumah sendiri-sendiri. Itu belum termasuk sampah di pasar-pasar, terminal-terminal, dan sekolah-sekolah. Di kawasan yang disucikan pun sampah terkadang masih tetap ada.

Bumi menjadi begitu kotor, kumuh, dan selera manusia untuk hidup sehat di bumi yang bersih seperti mati rasa. Memang ada yang mengolah sampah menjadi pupuk, tapi itu belum menjadi kesadaran kolektif masyarakat. Manusia memang telengas dalam memperlakukan sampah : sampah dibuang sesuka hati, dan bahkan primitif seperti mencampurkan adukan sampah basah, kering, dan berbahaya. Limbah cair yang berbahaya pun masih saja dibuang ke sungai hingga merusak biota sungai. Lagi-lagi ini gambaran dalam abad berantakan di mana manusia sebagai makhluk berpikir menentang kesantuan, moral, kultur, keseimbangan alam, dan agama. Padahal Tuhan tidak pernah mencipta sesuatu di bumi ini dengan sia-sia.

Di sebuah perumahan dan pemukiman, pernah juga ditemukan kalimat di tembok-tembok yang sangat menonjok karena ditulis dengan kata-kata kasar : Jangan Buang Sampah di Sini Kecuali Binatang. Begitulah, bentuk ekpresi kekesalan yang campur baur dengan kekecewaan. Itu pun bisa membuat orang menjadi sakit lalu membentuk kristalisasi dendam. Dalam konteks ini sampah bukan lagi urusan pribadi, akan tetapi urusan sosial yang jika tidak dikelola dengan baik bisa memicu konflik. Maka negara atau pemerintah wajib melakukan intervensi.

Memang, membuang sampah tanpa pertimbangan rasional, religiusitas, aspek keindahan dan keselarasan serta kelestarian lingkungan, serta aspek-aspek sosial-budaya, bahkan etika, dan moralitas serta agama, akan merusak pencitraan sebuah kota dan perilaku masyarakatnya yang tidak cerdas, dinilai mundur atau terbelakang. Lebih dari itu, akan melahirkan bencana yang sangat pedih bagi manusia di bumi : banjir yang merusak infrastruktur kehidupan, kematian roda ekonomi, pengorbanan harta dan jiwa serta beragam penyakit yang berbahaya dan mengancam kehidupan manusia.

Perilaku kontroversial manusia dengan sampah masih terjadi di sebagaian kehidupan masyarakat Kota Tangerang, sehingga pada tahun 2007, Kota Tangerang ditetapkan sebagai “Kota Terkotor” dari kementrian lingkungan hidup, sebuah legitimasi yang sangat menyedihkan. Keputusan itu diprotes Wali Kota Tangerang H Wahidin Halim karena penilaian itu tidak relevan dengan kenyataan. Dan belum lama ini, Wahidin mewacanakan meminta fatwa kepada MUI Kota Tangerang tentang limbah dan sampah.

0 komentar:



Posting Komentar